Etika Berpakaian

Filed under: by:

Orang Muslim meyakini bahwa berpakaian itu diperintahkan Allah Ta'ala dalam firman-firman-Nya, seperti dalam firman-firman-Nya berikut ini:

“Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-Araaf: 31).

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (Al-A’raaf: 26).

“Dan Dia jadikan bagi kalian pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan pakaian (baju besi) yang memelihara kalian dalam perangan.” (An-Nahl: 81).

“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kalian guna memelihara dalam peperangan kalian, maka hendaklah kalian bersyukur.” (Al-Anbiya’: 80).

Rasulullah saw. memerintahkan berpakaian dalam sabdanya, “Makanlah kalian, minumlah kalian, berpakaianlah kalian, dan bersedekahlah kalian tanpa kikir dan tanpa sombong.” (Diriwayatkan Al Bukhari)

Selain itu, Rasulullah saw. menjelaskan apa saja yang boleh dijadikan pakaian, apa yang tidak boleh dijadikan pakaian, apa yang disunnahkan untuk dipakai, dan apa yang dimakruhkan untuk dipakai. Oleh karena itu, orang Muslim konsekwen dengan etika-etika berikut dalam berpakaian:

Ia tidak memakai pakaian dari bahan sutra secara mutlak untuk pakaian, sorban, dan lain sebagainya. karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah saw., “Kalian jangan mengenakan sutra, karena sesungguhnya barang siapa mengenakannya di dunia, ia tidak mengenakannya di akhirat.” (Muttafaq Alaih).

Rasulullah saw. mengambil sutra kemudian meletakkannya di tangan kanannya, dan mengambil emas kemudian meletakkannya di tangan kirinya kemudian bersabda, “Sesungguhnya dua barang ini haram bagi laki-laki dari umatku.” (Diriwayatkan Abu Daud dengan sanad yang baik).

Sabda Rasulullah saw., “Diharamkan penggunaan sutra dan emas bagi laki-laki dari umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka.”

Ia tidak memperpanjang pakaian atau celananya, atau burnus (sejenis mantel yang bertudung kepala), atau gamisnya hingga mencapai telapak kaki, karena sabda-sabda Rasulullah saw. berikut:

“Kain yang ada di bawah telapak kaki adalah di neraka.”

“Memanjangkan hingga di bawah kedua tumit pada kain, gamis, dan sorban. Barangsiapa menyeret salah satu daripadanya dengan sombong, maka Allah tidak melihat kepadanya pada hari kiamat.” (Diriwayatkan An-Nasai).

“Allah tidak melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong.” (Muttafaq Alaih).

Ia lebih mengutamakan pakaian yang berwarna putih daripada warna-warna lainnya, dan berpendapat bahwa penggunaan semua warna adalah diperbolehkan, karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah saw., “Kenakanlah pakaian berwarna putih, karena warna putih adalah paling suci, dan paling baik, serta kafanilah mayit kalian dengan kain berwarna putih.” (Diriwayatkan An-Nasai dan Al-Hakim yang meng-shahih-kannya).

Al-Barra’ bin Azib ra berkata, “Rasulullah saw. sedang perawakannya. Aku pernah melihat beliau mengenakan pakaian berwarna merah dan aku tidak pernah melihat orang lain yang lebih tampan daripada beliau.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Diriwayatkan dengan shahih, bahwa Rasulullah saw. juga mengenakan pakaian yang berwama hijau, dan menggunakan sorban berwarna hitam.

Wanita Muslimah wajib memanjangkan pakaiannya hingga menutupi kedua kakinya, dan memanjangkan kerudung di kepalanya hingga menutupi leher dan dadanya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta ‘ala, “Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang Mukminin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’.” (Al-Ahzab: 59).

“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, ‘Hendaklah menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung’.” (An-Nuur: 31).

Aisyah ra berkata, “Semoga Allah merahmati wanita-wanita kaum Muhajirin pertama. Ketika Allah menurunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”, maka mereka merobek pakaian tanpa jahitan mereka, kemudian mereka menggunakannya sebagai kerudung.” (Diriwayatkan Al Bukhari).

Ummu Salamah ra berkata, “Ketika ayat ini turun, ‘Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang Mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’, maka wanita-wanita Anshar keluar dan di kepala mereka seperti ada burung-burung gagak dari kain.”

Kaum laki-laki tidak menggunakan cincin emas, karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah saw. tentang emas, dan sutra, “Sesungguhnya dua barang ini haram bagi orang laki-laki dari umatku.” (Diriwayatkan Abu Daud).

Sabda Rasulullah saw., “Diharamkan pakaian sutra dan emas bagi orang laki-laki dari umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka.”

Sabda Rasulullah saw. ketika melihat cincin emas di tangan seseorang kemudian beliau mencabutnya, dan membuangnya, “Salah seorang dari kalian pergi ke bara neraka, kemudian meletakkannya di tangannya.” Setelah Rasulullah SAW. pergi, maka dikatakan kepada orang tersebut, “Ambillah cincinmu, dan manfaatkan.” Orang tersebut berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengambilnya selama-lamanya, karena cincin tersebut telah dicampakkan Rasulullah saw.” (Diriwayatkan Muslim).

Seorang Muslim diperbolehkan mengenakan cincin dari perak, atau mencetak namanya di cincin peraknya, kemudian menggunakannya sebagai cap surat-suratnya, atau buku-bukunya, dan menandatangani cek, dan lain sebagainya, karena dalil-dalil berikut:

Karena Rasulullah saw. mengenakan cincin dari perak, di dalamnya terdapat tulisan Muhammad Rasulullah, dan beliau mengenakan cincin tersebut di jari kelingking tangan kirinya.

Anas bin Malik ra berkata, “Cincin Rasulullah saw. terletak di sini (sambil memberi isyarat ke jari kelingking tangan kirinya).” (Diriwayatkan Muslim).

Seorang Muslim tidak dibenarkan menutupkan kain ke seluruh tubuhnya, dan tidak menyisakan tempat keluar untuk kedua tangannya karena Rasulullah saw. melarang hal ini dan tidak boleh berjalan dengan satu sandal karena Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian berjalan dengan satu sandal, namun hendaknya ia melepas kedua-duanya, atau menggunakan kedua-duanya.” (Diriwayatkan Muslim).

Laki-laki Muslim tidak boleh mengenakan busana Muslimah begitu juga sebaliknya, karena Rasulullah saw. mengharamkannya dalam sabda-sabdanya berikut:

“Allah melaknat orang laki-laki yang mengenakan busana wanita, dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

“Allah melaknat laki-laki yang mengenakan busana wanita, dan Wanita yang mengenakan busana laki-laki. Allah juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita-wanita, dan wanita-wanita yang menyerupai.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Jika mengenakan sandal maka ia memulai dengan kaki kanan, dan jika melepasnya maka memulainya dengan kaki kiri, karena Rasulullah saw. bersabda, “Jika salah seorang dari kalian mengenakan sandal, hendaklah ia memulai dengan kaki kanan, dan jika ia melepasnya, hendaklah ia memulai dengan kaki kiri, agar kaki kanan yang pertama kali dikenakan sandal, dan yang pertama kali dilepas.” (Diriwayatkan Muslim).

10. Jika ia berpakaian, ia memulainya dengan tangan kanan, karena Aisyah ra berkata, “Rasulullah saw. suka memulai dengan tangan kanan dalam segala hal, dalam mengenakan kedua sandalnya, dalam bersisir, dan dalam bersuci.” (Diriwayatkan Muslim).

11. Jika seorang Muslim mengenakan pakaian baru, atau sesuatu yang baru, ia berdoa, “Ya Allah, pujian untuk-Mu, Engkau telah memberi pakaian kepadaku. Aku meminta kebaikan pakaian ini kepada-Mu, dan kebaikan apa yang diciptakan untuknya. Dan aku berlindung diri kepada-Mu dari keburukannya, dan keburukan apa yang diciptakan untuknya.”

12. Jika orang Muslim melihat saudara seagamanya mengenakan baju Muslim, ia mendoakannya dengan berkata, “Usanglah, dan lusuhlah,” karena Rasulullah saw. berdoa dengan doa tersebut untuk Ummu Khalid yang mengenakan busana baru. (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kannya).

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 203-208.



Read More ..

Prinsip Kesembilan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Tentang Sahabat, Ahlul Bait Dan Khilafah

Filed under: by:

Termasuk dari prinsip ‘aqidah salafush shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah :
mencintai para Sahabat Rasulullah saw, menjaga kesucian hati dan lisannya terhadap mereka. Karena mereka itulah manusia yang paling sempurna keimanan dan kebaikannya serta paling besar ketaatan dan jihadnya. Allah telah memilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi-Nya saw. Merekapun mendapatkan suatu keistimewaan yang tidak bisa didapatkan oleh siapapun setelah generasi mereka walaupun setinggi apapun derajatnya; yaitu kemuliaan karena melihat Nabi saw dan bergaul dengannya.

Para sahabat yang mulia itu semuanya adalah ‘uduul (jujur dan adil) berdasarkan kesaksian Allah dan RasulNya. Mereka juga sebagai ummat yang paling baik setelah Nabi-Nya saw. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang berdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah mendediakan bagi mereka Surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal didalamnya merek a selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah :100)
Kesaksian Allah dan Rasul Nya bagi mereka (para sahabat) atas keimanan dan keutamaan merupakan prinsip yang pasti, yang tentu saja sudah diketahui dalam agama Islam. Mencintai mereka merupakan bagian dari agama dan iman, sendang membencinya merupakan kekufuran dan kemunafikan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan, karena Rasulullah mencintai mereka dan berwasiat agar ummatnya mencitai mereka. Beliau bersabda, “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai para Sahabatku, janganlah kamu jadikan mereka sebagai sasaran lemparan (cercaan) setelahku. Barangsiapa mencnitai mereka, maka dia pun mencintai kecintaaku atas kecintaanya kepada mereka. Dan barangsiapa membenci mereka, maka diapun membenciku atas kebenciannya terhadap mereka. Barangsiapa yang menyakiti mereka maka dia telah menyakitiku. Dan barang siapa menyakitiku berarti dia telah menyakiti Allah. Dan barangsiapa yang menyakiti Allah maka sungguh dekat siksa-Nya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al-Albani) (Abdullah bi Mas’ud ra berkata : “Mencintai Abu Bakar dan Umar serta mengetahui keutamaanya adalah bagian dari as-Sunnah.” (Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah no.2319). Imam Malik ra berkata “Dahulu para salafush Shalih mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai Abu Bakar dan Umar, seperti mereka mengajarkan salah satu surat dalam Al-Qur’an.” Di keluarkan oleh al-Lailika-i dalam kitab Syarah Ushuul I’tiaad Ahlis Sunnah, (no.225)

Setiap orang yang melihat Rasulullah saw dan beriman kepadanya serta wafat dalam keadaan beriman, maka ia termasuk sahabat walaupun pertemuannya hanya setahun, sebulan, sehari ataupun hanya sesaat,

Tidak akan masuk neraka seorang pun dari para sahabat yang membai’at (sumpah setia kepada Rasulullah) di bawah pohon (Baiatur Ridhwan), bahkan Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, jumlah mereka lebih dari 1400 (seribu empat ratus) orang.

Nabi saw bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorangpun yang memba’iat (Rasulullah) dibawah pohon (Ba’iatur Ridhwan).” (HR. Al-Bukhari).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah : Menahan diri dari perselisihan yang terjadi diantara mereka dan menyerahkan urusan mereka kepada Allah. Barangsiapa yang benar dari mereka maka baginya dua pahala. Dan barngsiapa yang salah dari mereka maka baginya satu pula pahala. Sedang kesahalannya akan diampuni Insya Allah.

Ahlus sunnah tidak mencaci salah seorangpuyn dari mereka, bahkan menyebutnya dengan ungkapan yang layak bagi mereka berupa pujian yang bagus. Berdasarkan Nabi saw., “Janganlah kalian mencaci para Sahabatku, janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Demi Allah yang jiwaku ditanganNya, seandainya salah seorang diantara kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan mencapai satu Mudpun (dari yang merka infaqkan), tidak sampai pula setengahnya.” (HR. Muslim).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa para sahabat adalah ma’sum (terjaga) dari kesalahan secara kolektif, adapun secara individual tidak ma’sum. Menurut ahlus sunnah kema’suman datangnya dari Allah bagi orang yang telah dipilih dari kalangan Rasul-Nya untuk menyampaikan risalahNya. Dan Allah Ta’ala menjaga seluruh ummat ini secara kolektif dari kesalahan, bukan secara individual.

Nabi saw besabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan ummatku ini di atas kesesatan. Dan tangan Allah diatas jama’ah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi oleh Imam al-Albani)”

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa empat sahabat: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ra adalah umat yang paling baik setelah Nabinya saw, merekalah yang disebut “Khulafaur Rasyidin” secara berurutan yang telah mendapat hidayah. Mereka juga termasuk Mubasysyarin bil Jannah (orang-orang yang medapatkan kabar gembira masuk surga). Pada masa mereka adalah khilafah nubuwwah selama tiga puluh tahun termasuk khilafah al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, berdasarkan sabda Nabi saw, “Masa khalifah pada umatku selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu menjadi suatu kerajaan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) (HR. Abu Dawud no. 4647, at Tirmidzi no.226, Ahmad (V/220, 221), al-Hakim (III/71) dan Ibnu Abi Ashim no. 1181 dari Safinah. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, lihat takhrij selengkapnya di Silsilatul Ahadiitsish Shahiihah oleh Syaikh al-Albani Jilid I bagian II, hal. 820-827 no.459.).

Ahlus Sunnah memuliakan enam orang lainnya dari sepuluh orang yang telah mendapatkan kabar gembira (masuk surga), di mana Rasulullah saw telah menyebutkannya, yaitu : Thalhah bin Ubaidillah, az Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf dan Abu Ubaidah bin Jarrah (dengan julukan) “Amiin Hadzibil Ummah” (orang yang paling dipercayai pada ummat ini). (Lihat riwayat at-Tirmidzi no. 747, dan Ahmad (I/193) dari Sahabat Abdurrahman bin Auf, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud no.4649, Ibnu Majah no.133, Ibnu Abi Ashim dalam Kitabus Sunnah no.1430, 1433 dan Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ish Shaghir no.50 dan dimuat juga dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah, Jilid II hal.531). Kemudian Ahlus Sunnah memuliakan para sahabat yang mengikuti peperangan Badar, kemudian Sahabat yang membaiat pada “Bai’atur Ridhwan” kemduian Sahabat yang lain. Barang siapa mencintai mereka, mendo’akan kebaikan

Baginya, memperhatikan hak-haknya dan mengetahui keutamaannya, maka dia tergolong orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa membenci dan mencaci mereka, maka dia tergolong orang-orang yang binasa.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah : mencintai Ahlul Bait Nabi saw berdasarkan sabda Nabi saw, “Sesungguhnya aku mengingatkan kalian kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku), sesungguhnya aku mengingatkan kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku).” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2408 (36), dari Sahabat Zaid bin Arqam ra. Lanjutan riwayat tersebut adalah : Husain bertanya kepada Zaid bin Arqam : “Hai Zaid, sebenarnya siapakah ahlul Baitnya?” Zaid bin Arqam berkata : “Isteri-isteri beliau ra adalah ahlul Baitnya. Tetapi ahlul Bait yang dimaksud adalah orang yang diharamkan menerima shadaqah sepeninggal beliau ra.” Husain bertanya : “Siapakah mereka itu?” Zaid bin Arqam menjawab : “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keturunan ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abas.” Husain bertanya : “Apakah mereka semua diharamkan menerima shadaqah?” Jawab Zaid: “Ya.”

Dan sabdanya pula, “Sesungguhnya Allah memilih anak keturunan Ismail, dan memilih dari anak keturunan Ismail Bani Kinanah dan memilih dari Bani Kinanah suku Quraisy, dan memilih dari suku Quraiasy Bani Hasyim lalu memilihku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2276 dari Watsilah bin al-Asqa’)

Di antara ahli Bait (keluarga) beliau adalah isteri-isteri beliau ra dan mereka dinamakan pula : “Ummahatul Mukminin” (Ibu-ibu kaum Mukminin) berdasarkan nash al-Qur’an, seperti yang difirmankan Allah Ta’ala, “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahlu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Di antara mereka : Khadijah binti Khiwailid, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar bin al-Khaththab, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Ummu Salamah binti Abu Umayyah bin Mughirah, Saudah binti Zam’ah bin Qais, Zainab binti Jahsy, Maimun binti al-Harits, Juwairiyah binti al-Harits bin Abu Dhirar dan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtahab.

Ahlus Sunnah beri’tiqad bahwa mereka adalah isteri-isteri yang suci lagi bebas dari segala kejahatan dan mereka sebagai isteri-isteri suci di dunia dan akhirat radhiyallahu anhumma ajmaiin.

Mereka juga berpandangan bahwa isteri yang paling baik lagi utama adalah Khadijah binti Khiwailid dan ‘Aisyah as Shiddiqah binti as-Shidiq. Dimana Allah telah membebaskannya (dari tuduhan perbuatan keji) dalam Kitab-Nya yang mulia. Barang siapa menuduhnya setelah Allah membebaskannya dari tuduhan itu, maka benar-benar ia telah kafir, Rasulullah saw bersabda, “Keutamaan ‘Aisyah atas perempuan lainnya bagaikan keutamaan Sarid (roti kuah yang ada dagingnya) daripada makanan lainnya”. (HR. Al-Bukhari). (HR. Al-Bukhari no.3770, 5419, 5428, Muslim no. 2446, at-Tirmidzi no.3887, Ibnu Majah no.3281 dan Ahmad (III/156) dari Sahabat Anas bin Malik. Lihat takhrij selengkapnya di Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah no.3535.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.189 -196.Hlm. 197 – 204.



Read More ..

Etika Sifat-Sifat Fitrah

Filed under: by:

Orang Muslim dalam kapasitasnya sebagai orang Muslim berpegang teguh kepada Kitab Tuhannya, dan Sunnah Nabi-Nya. Ia hidup di bawah naungan keduanya, dan mengatur seluruh kehidupannya berdasarkan keduanya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta’ala, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukminah, apakah Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al-Ahzab: 36).

“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).

Sabda Rasulullah saw.,

“Salah seorang dari kalian tidak beriman hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Diriwayatkan Imam Nawawi dalam Al-Arba’in. Ia berkata, “Hadits ini hasan shahih yang kami riwayatkan dalam buku Al-Hujjah”)

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak termasuk dalam perintah kami, maka bertolak.”

Oleh karena itu, orang Muslim menerapkan etika-etika terhadap sifat-sifat fitrah yang ditegaskan Rasulullah saw.,

“Fitrah itu ada lima: Mencukur rambut di sekitar kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut di ketiak, dan memotong kuku.”

Etika-etika tersebut adalah sebagai berikut :

Khitan, yaitu memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki. Khitan disunnahkan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran, karena Rasulullah saw. mengkhitan Al-Hasan dan Al-Husain, anak Fathimah Az-Zahra’ dan Ali bin Abu Thalib pada hari ketujuh kelahirannya. Pelaksanaan khitan boleh ditunda hingga anak sebelum mencapai usia baligh, karena Rasulullah saw. mengkhitan Ibrahim pada usia delapan tahun. Diriwayatkan bahwa jika ada seseorang masuk Islam di hadapan Rasulullah saw., maka beliau bersabda, “Buanglah darimu rambut kekafiran, dan berkhitanlah.”

Memotong kumis. Orang Muslim harus memotong kumisnya yang memanjang hingga sampai kedua bibirnya.

Adapun jenggot, maka ia membiarkannya hingga memenuhi wajahnya, karena sabda-sabda Rasulullah saw. berikut:

“Potonglah kumis, panjangkan jenggot, dan berbedalah dari orang-orang Majusi.” (Diriwayatkan Muslim).

“Berbedalah dari orang-orang musyrikin, potonglah kumis, dan panjangkan jenggot.”

Jadi diharamkan mencukur jenggot. Selain itu, orang Muslim harus menghindari mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian yang lain, karena Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah saw. melarang mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian yang lain. (Muttafaq Alaih).

Orang Muslim juga harus menghindari mengecat jenggotnya dengan warna hitam, karena Rasulullah saw. bersabda ketika ayah Abu Bakar dihadapkan kepada beliau pada saat penaklukan Makkah dalam keadaan rambutnya sudah memutih,

“Bawa dia ke salah satu istri-istrinya, dan hendaklah salah satu dari istrinya mengubahnya dengan sesuatu dan hindarilah warna hitam. Adapun mewarnai dengan pohon anai (pacar), dan pohon katam, maka disunnahkan mewarnai dengannya.” (Muttafaq Alaih).

Jika orang Muslim membiarkan rambut kepalanya dan tidak mencukurnya, maka ia memulihkannya dengan menggunakan minyak, karenanya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mempunyai rambut banyak, hendaklah ia memuliakannya.” (Diriwayatkan Abu Daud dengan sanad yang baik).

Mencabut rambut di ketiak. Orang Muslim harus mencabut rambut di ketiaknya. Jika ia tidak bisa mencabutnya, ia mencukurnya, atau mengolesinya dengan kapur barus agar hilang.

Memotong kuku. Orang Muslim harus memotong kukunya. Ia disunnahkan memulai memotong kukunya di tangan kanannya, kemudian kuku di tangan kirinya, kemudian kuku di kaki kanannya, kemudian kuku di kaki kirinya, karena Rasulullah saw. senang memulai memotong kuku dari yang kanan.

Orang Muslim melakukan kelima hal tersebut dengan niat pahala mengikuti beliau, dan bersunnah dengan sunnahnya, karena segala amal perbuatan itu harus dengan niat, dan setiap orang itu tergantung pada niatnya.

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 208-210.

Read More ..

Etika Tidur

Filed under: by:

Orang Muslim berkeyakinan bahwa tidur adalah salah satu nikmat yang diberikan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-firman-Nya berikut:

“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untuk kalian malam dan siang, supaya kalian beristirahat pada malam itu dan supaya kalian mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kalian bersyukur kepada-Nya.” (Al-Qashash: 73)

“Dan Kami jadikan tidur kalian untuk istirahat.” (An-Naba: 9)

Itu karena istirahat seseorang beberapa jam pada waktu malam setelah seharian bergerak itu membantu kesegaran badan, kelangsungan perkembangan dan aktifitasnya, agar dengan itu semua ia dapat menunaikan tugas yang diciptakan Allah Ta‘ala untuknya.

Mensyukuri nikmat-nikmat itu menghendaki orang Muslim menerapkan etika-etika berikut dalam tidurnya:

Ia tidak menunda tidur setelah shalat Isya’ kecuali untuk keperluan seperti belajar, atau bicara dengan tamu, atau bercumbu dengan istri, karena Abu Barazah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. tidak menyukai tidur sebelum shalat Isya’, dan ngobrol sesudahnya. (Muttafaq Alaih).

Ia berusaha tidak tidur kecuali dalam keadaan berwudlu, karena Rasulullah saw. bersabda kepada Al-Barra’ bin Azib,

“Jika engkau akan pergi ke tempat tidurmu, hendaklah engkau berwudlu seperti wudhu untuk shalat.” (Muttafaq Alaih).

Ia memulai tidur dengan di atas lambung kanannya (miring ke kanan), berbantal tangan kanannya, dan tidak apa-apa kalau ingin berubah posisi dengan tidur di atas lambung kirinya setelah itu karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah saw. kepada Al-Barra’ bin Azib, “Jika engkau akan pergi ke tempat tidurmu, hendaklah engkau berwudlu seperti wudhu untuk shalat, kemudian tidurlah d atas lambung kananmu.” (Muttafaq Alaih).

Sabda Rasulullah saw., “Jika engkau akan pergi ke ranjangmu (tidur) dalam keadaan suci maka dengan tangan kananmu.”

Ia tidak tidur dalam keadaan telungkup, baik tidur di siang hari atau malam hari, karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah saw.,

“Sungguhnya tidur dengan telungkup adalah tidurnya penghuni neraka.”

“Sesungguhnya tidur dengan telungkup ialah tidur yang tidak disukai Allah Azza wa Jalla.”

Ia mengucapkan dzikir-dzikir berikut:

“Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, dan Allah Mahabesar.”

Ia mengucapkannya tiga puluh tiga kali, kemudian ia berkata, “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi Allah kerajaan, dan pujian. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Ia berbuat seperti itu, karena Rasulullah SAW. bersabda kepada Ali bin Abu Thalib dan Fathimah yang meminta pembantu kepada beliau, “Maukah kalian berdua aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian berdua minta? Kalian berdua hendak tidur, bacalah tasbih sebanyak tiga puluh kali, bacalah hamdalah sebanyak tiga puluh tiga kali, dan bacalah takbir sebanyak tiga puluh empat kali. Itu semua lebih baik bagi kalian berdua dari pada pembantu. (Diriwayatkan Muslim)

Ia membaca surat Al-Fatihah, lima ayat pertama surat Al-Baqarah, ayat kursi, dan surat Al-Baqarah ayat 284-285, karena itu dianjurkan Rasulullah saw.

Doa terakhir yang dibaca ialah doa berikut yang diriwayatkan dari Rasulullah saw., “Dengan nama-Mu ya Allah, aku letakkan lambungku, dan dengan nama-Mu aku mengangkatnya kembali. Ya Allah, jika Engkau menahan jiwaku, ampunilah dia. Dan jika Engkau mengirimnya kembali, jagalah dia sebagaimana Engkau menjaga orang-orang shalih diantara hamba-hamba-Mu, Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu, aku limpahkan segala urusanku kepada-Mu, aku sandarkan tulang punggungku kepada-Mu. aku meminta ampunan kepada-Mu, aku bertahubat kepada-Mu, aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus, ampunilah apa yang telah aku kerjakan apa yang aku umumkan, serta apa saja yang lebih Engkau ketahui daripada aku. Engkau Dzat Yang Maha Terdahulu dan Maha Terakhir. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Tuhanku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” (Diriwayatkan Abu Daud dan lain-lain dengan sanad yang shahih).

Jika ia terbangun di sela-sela tidurnya, ia membaca doa berikut, “Tidaklah ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi Nya kerajaan dan pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu . Mahasuci Allah, segala pujian bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Allah Mahabesar, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah.”

Setelah itu, ia bebas berdoa apa saja, karena Rasulullah saw., “Barangsiapa bangun dan tidurnya kemudian ia berkata, ‘Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Muhasuci Allah, segala pujian bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali dengan Allah Maha besar, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah.’Kemudian ia berkata, Ya Allah ampunilah aku. ‘Atau ia berdoa dengan doa lain, maka doanya dikabulkan. Jika ia berdiri kemudian berwudlu dan shalat maka shalatnya diterima “(Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau ia berdoa dengan doa berikut, “Ya Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Mahasuci. Ya Allah, aku meminta ampunan kepada-Mu atas dosaku, dan meminta rahmat-Mu kepada-Mu. Ya Allah, tambahilah ilmuku, jangan palingkan hatiku setelah engkau memberinya petunjuk, dan beri aku rahmat dari sisi-Mu, karena Engkau Maha Pemberi nikmat.”

Pada pagi harinya, ia membaca dzikir-dzikir berikut:

a. Ketika ia bangun tidur, dan sebelum berdiri dari tempat tidurya, ia membaca, “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah sebelumnya mematikan kami dan kami akan kembali kepada-Nya.”

b. Ia hadapkan pandangannya ke langit sambil membaca surat Ali Imran ayat 190-200 jika ia bangun untuk shalat tahajjud, karena Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika aku bermalam di rumah bibiku dari jalur ibu, Maimunah istri Rasulullah SAW., bangun tidur pada pertengahan malam, atau beberapa saat setelah pertengahan malam, kemudlan beliau mengusap tidur dari wajahnya dengan tangannya, membaca sepuluh ayat terakhir, surat Ali Imran, berjalan ke tempat air yang menggantung, berwudlu dengan airnya dengan wudlu yang baik, dan berdiri untuk shalat “(Diriwayatkart Al-Bukhari).

c. Membaca doa berikut sebanyak empat kali, “Ya Allah, aku berada di pagi hari dengan memuji-Mu, disaksikan oleh-Mu, disaksikan oleh malaikat-malaikat pemikul Arasy-Mu, disaksikan oleh malaikat-malaikat-Mu, dan disaksikan oleh semua makhluk-Mu bahwa Engkau Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, dan bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu.

Ia berdoa seperti itu, karena Rasulullah SAW. bersabda, “Barangsiapa mengucapkan doa di atas sebanyak sekali maka Allah membebaskan seperempat dirinya dari neraka, barangsiapa mengucapkannya dua kali maka Allah membebaskan setengah dirinya dari neraka, barangsiapa mengucapkannya tiga kali maka Allah membebaskan tiga perempat dirinya dari neraka, dan jika diucapkan empat kali maka Allah membebaskannya total dari neraka.” (Diriwayatkan Abu Daud dengan sanad shahih).

d. Jika ia meletakkan kakinya di depan pintu kamar untuk keluar, ia berdoa dengan doa berikut, “Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.”

Karena Rasulullah saw. bersabda, “Jika seorang hamba mengucapkan doa di atas, maka dikatakan kepadanya, Engkau telah mendapatkan petunjuk dan dilindungi.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia meng-hasan-kannya).

e. Jika ja meninggalkan pintu kamar, ia berdoa dengan doa berikut, “Ya Allah, aku berlindung diri kepada-Mu dari tersesat dan sesaatkan, tergelincir dan digelincirkan, menzhalimi atau dizhalimi, bodoh atau dibodohi.”

Karena Ummu Salamah ra berkata, Rasulullah saw. tidak pernah keluar dari rumahku melainkan ia mengangkat pandanganya ke langit sambil berkata, Ya Allah, aku berlindung diri kepada-Mu dari tersesat dan disesatkan.”

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 210-216.



Read More ..

Prinsip Kesepuluh Pandangan Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Ahwa’ dan Bida’

Filed under: by:

Termasuk dari prinsip aqidah Salafus Salih, Ahlus Sunnah wal Jamaah:

Bahwa mereka membenci ahlul ahwa’ dan bida’ (orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya dan bid’ah) mereka mengada-ada dalam urusan agama apa yang sebenarnya bukan dari urusan agama. Ahlus Sunah tidak mencintai dan tidak menemani mereka, tidak mendengarkan perkataannya, tidak mengajak duduk bersama dan tidak berdebat, tidak bertukar pikiran dengannya dalam urusan agama.

Ahlus Sunah berpandangan bahwa hendaknya menjaga telinganya dari mendengarkan kebathilan-kebathilan mereka; menjelaskan kondisi dan kejahatan mereka dan memperingatkan umat terhadap mereka serta menghimbau mereka agar manusia menjauhi mereka.
Nabi saw bersabda, “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah pada suatu ummat sebelumku melainkan ada dari ummatnya sahabat-sahabat setia dan teman karib baginya yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintanya. Kemudian ummat tersebut akan meninggalkan suatu generasi yang berucap tapi tidak berbuat, dan berbuat yang tidak diperintahkan. Barangsiapa memerangi mereka dengan tanganya, maka dia seorang mukmin. Barangsiapa memerangi mereka dengan lisannya (menasehati), maka dia seorang mukmin. Maka barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya (mengingkari), maka dia seorang mukmin. dan tidak ada sebesar biji sawipun dari keimanan setelah (tingkatan) itu.” (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam ak Albani). (HR. Muslim no.50 dan Ahmad (I/458) no.4379, dari Sahabat Ibnu Mas’ud)

Nabi saw juga bersabda, “Pada akhir zaman dari ummatku (nanti) akan terjadi (sekelompok) manusia yang akan berbicara kepada kalian apa yang belum pernah kalian maupun bapak-bapak kalian dengar. Maka jauhkanlah dirimu dari mereka.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.6 dari Abu Hurairah.)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisakan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan setelah Nabi saw, karena menuruti hawa nafsu, dan sesuatu yang baru dalam urusan agama setelah sempurna. Ialah segala urusan urusan agama yang tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan perbuatan tersebut baik dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Bid’ah juga adalah apa-apa yang baru dalam agama dengan cara menyamakannya dengan syari’at, dengan maksud beribadah dan mendekatakan diri kepada Allah. Oleh karena itu bi’ah sebagai lawan Sunnah. Jadi as-Sunnah itu adalah petunjuk kebenaran sedang bid’ah adalah kesesatan.

Bid’ah menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada dua macam : (1)Syirik dan kufur (2) Maksiat yang menafikan kesempurnaan tauhid. Bid’ah merupakan salah satu sarana syirik, yaitu bermaksud untuk beribadah kepada Allah Ta’ala tetapi bukan dengan jalan yang disyari’atkan oleh-Nya. Setiap sarana mempunyai kesamaan hukum dengan tujuannya. Dan segala sesuatu sarana menuju kepada kesyirikan dalam beribada kepada Allah atau berbuat bid’ah dalam agama, maka harus dicegah. Karena agama Islam sudah sempurna. Allah ta’ala berfirman, “...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu ...” (Al-Maidah :3)

Sabda Nabi saw., “ Barangsiapa mengada-ngada dalam urusan agama kami yang bukan dari ajaran (Allah dan Rasul-Nya), maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) (HR, Al-Bukhari no.2697 dan Muslim no.1718 (17) dari ‘Aisyah ra)

Nabi saw bersabda, “Barangsiapa siapa mengamalkan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.1718 (18) dari ‘Aisyah ra).

Nabi saw bersabda pula, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan. Dan setiap yang bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim) (HR. Muslim 867 (43), an-Nisa-i no. 1578 dan Ibnu Majah no.45 dari Jabir bin ‘Abdillah.) (Bid’ah pertama kali yang muncul dalam agama adalah masalah membedakan antara shalat dan zakat. Pengakuan bahwa zakat tidak dibayarkan kecuali kepada Rasulullah saw, lalu Abu Bakar as-Shidiq ra menentang dan melawan serta menghukum mereka sebelum masalahnya bertambah besar. Seandainya Abu Bakar as-Shidiq ra meninggalkan mereka atas hal tersebut, pasti anggapan itu akan menjadi suatu idiologi sampai saat ini. Demikian pula, pada zaman ‘Umar bin al-Khaththab muncul sebagian bid’ah yang kecil, lalu beliau ra memusnahkannya. Pada zaman Utsman bin Aggan terjadi pula awal-awal fitnah yang besar yaitu keluar/membelot dari pemerintahan legagl dengna pedang. Dan bid’ah mereka berakhir dengan meninggalnya beliau ra. Inilah merupakan benih fitnah Khawarij yang sampai pada saat ini bid’ah masih menyebar, lalu datanglah berbagai bid’ah Qadariyyah, Murijah, Rafidhah (Syi’ah), Zindiq, Jahmiyyah, Firqah-firqah Bahiniyyah, kaum yang meningkari Asma’ dan sifat Allah dan bid’ah-bid’ah lainnya. Setiap muncul bid’ah-bid’ah, lalu Ahlus Sunnah selalu menghadangnya. Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berpandangan bahwa bid’ah itu berada dalam satu tingkatan, namun bid’ah itu bertingkat-tingkat (dari yang satu ke yang lainnya). Sebagian ada yang menyebabkan keluar dari agama, ada yang seperti dosa-dosa besar dan sebagian lain digolongkan dosa-dosa kecil. Tetapi semuanya sama-sama mempunyai sifat dhalalah (kesesatan). Jadi, menurut Ahlus Sunnah bid’ah yang kulliyyah (secara keseluruhan) bukan seperti bid’ah yang juz’iyyah (secara parsial); dan yang murakkabah (bertingkat) bukan seperti yang basihah (biasa); serta yang hakikiyah bukan seperti yang idhafiyyah (tambahan) baik pada perbuatan itu sendiri maupun hukumnya. Demikian juga berbeda hukum pelakunya. Dari sinilah maka Ahlus Sunnah tidak menghukumi dengan satu hukuman mutlak terhadap Ahlul Bid’ah, bahkan berlainan hukumnya dari pelaku yang satu ke pelaku yang lainnya menurut bid’ah (yang diperbuat). Orang yang jahil dan yang mena’wil hukumnya tidak seperti orang ‘alim (yang mengetahui) dengan apa yang dia seru. Orang yang ‘Alim lagi mujtahid bukan seperti orang ‘alim yang menyeru dengan kebid’ahannya dan mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah tidak memperlakukan orang yang berbuat bid’ah dengan sembunyi-sembunyi seperti memperlakukan orang yang berbuat bid’ah dengan terang-terangan atau orang yang mengajak kepadanya karena orang tersebut (yaitu orang yang mengajak kepada bid’ah) bahayanya dapat menularkan kepada orang lain maka harus dicegah, mengingkarinya secara terang-terangan dan tidak diberikan kesempatan baginya serta memberikan hukuman kepadanya dengan sesuatu yang menjerakan dia dari perbuatan tersebut. Inilah hukuman baginya sehingga dia jera dari pebuatan bid’ahnya, karena dia menampakkan kemungkaran maka dia berhak ntuk mendapatkan hukumannya.

Oleh karena itu, Ahlus Sunnah mempunyai sikap yang berbeda dari satu kondisi ke kondisi lain. Ahlus Sunnah berbelas kasih terhadap Ahlul bid’ah yang awam dan muqallid. Mendo’akan mereka agar mendapatkan hidayah, mengharap agar mereka mengikut as-Sunnah dan petunjuk, menjelaskan hal tersebut kepada mereka sehingga mereka bertaubat dan menghukumi mereka secara zhahir serta menyerahkan hal-hal yang tersembunyi kepada Allah Ta’ala jika bid’ahnya tidak menjadikannya kafir.



Tanda-tanda Ahlus Ahwa dan Bid’ah :

Ada beberapa tanda yang nampak pada mereka dan mudah diketahui untuk mengenenal mereka. Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang mereka dalam Kitab-Nya, sebagaimana pula Rasulullah saw telah mengabarkan tentang mereka dalam Sunnahnya. Dan yang demikian itu sebagai peringatan bagi ummat dari mereka dan melarang menempuh jalan mereka.

Di antara tanda-tanda mereka adalah :

1. Jahil terhadap tujuan umum sya’iat Islam.

2. Berselisih, berpecah belah dan meninggalkan jama’ah

3. Suka berbanta-bantahan dan bermusuhan.

4. Mengikuti hawa nafsu

5. Mendahulukan akal daripada nash

6. Tidak mengerti as-Sunnah

7. Tenggelam dan berlarut-larut dalam mendalami ayat-ayat yang musyabihat, (ayat-ayat yang masih samar maknanya). (“Maka apabila engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyaabihaat, maka itulah yang dimaksud oleh Allah, maka waspadalah terhadap mereka.” (Hr. Al-Bukhari no. 4547, Muslim no. 2665 dan Abu Dawud no. 4598 dari ‘Aisyah ra)).

8. Menentang as-Sunnah dengan al-Qur’an

9. Berlebihan dalam mengagungkan tokoh-tokoh tertentu.

10. Berlebihan dalam beribadah

11. Menyerupai orang kafir

12. Melontarkan gelar-gelar yang tidak layak/buruk kepada Ahlus Sunnah dan membeci mereka.

13. Membenci dan memusuhi orang-orang yang membawakan sabda-sabda Nabi SAW, serta menghina mereka.

14. Mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka tanpa dalil.

15. Meminta pertolongan kepada para penguasa untuk menghabisi orang-orang yang membawa kebenaran.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa pokok-pokok bid’ah itu ada empat firqah, yaitu : Rawafidh (Syi’ah), Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah; kemudian berkembang dari setiap golongan menjadi beberapa kelompok, sehingga genap menjadi tujuh puluh dua golongan seperti yang telah disabdakan Nabi SAW (Dari Abu ‘Amir al-Hauzani bin ‘Abdillah bin Luhayyi, dari MU’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu’awiyyah) pernah dberdiri dihadapan kami, lalu ia bekata : “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berdiri dihadapan kami, kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 4597, dan lafadz hadits di atas adalah dari Musnadnya (IV/102), al-Hakim, dalam kitab al-Mustadrak (I/128), al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah (I/314-315 no. 29), Ibu Abi ‘Asyim, dan Kitaabus Sunnah, no. 1-2).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai upaya yang terpuji sekali dalam membatantah orang-orang Ahlul ahwa’ dan bid’ah di mana Ahlus Sunnah selalu menghadang mereka. Adapun ungkapan mereka terhadap Ahlul bid’ah banyak sekali. Kami akan sebutkan sebagian saja yang mudah :

1. Imam Ahmad bin Sinan al-Qaththan ra, berkata :

“Tidak ada seorang mubtadi’ (yang berbuat bid’ah) di dunia ini melainkan di membenci Ahlul Hadits (Ahlul Sunnah). Jika seseorang berbuat bid’ah maka pasti kemanisan hadits tercabut dari hatinya.” (Dalam kitab al-Tadzkirah oleh Imam an-Nawawi (II/521) dan

dikeluakan juga oleh Syaikhul Islam Abu ‘Utsman an-Shabuni dalam ‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadiits, tahqiq Badr bin ‘Abdullah al-Badr, no. 163, hal. 116-117. cet. Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyyah, th. 1415 H.

2. Imam Abu Hatim al-Hanzali ar-Razi ra berkata : “tanda ahlul bid’ah adalah mencela Ahlul Atsar. Tanda orang-orang Zindiq, mereka menamakan Ahlul Atsar dengan sebutan “Hasywiyyah”, mereka ingin mematikan Atsar. Tanda orang-orang Jahmiyyah, mereka menamakan Ahlul Sunnah dengan sebutan “Musyabbihan”. Tanda orang-oranga Qadariyyah, mereka menamakan Ahlus Sunnah dengan sebutan “Mujabbirah”. Tanda orang-orang Murjiah, mereka menamakan Ahlus Sunnah dengan sebut “Mukhalifah”. Dan “Nuqshaniyyah”. Tanda orang-orang Rafidhah, mereka menamakan Ahlus Sunnah dengan sebutan “Nashibah.” Padalah Ahlus Sunnah tidak mempunya nama kecuali nama saja dan mustahil nama-nama tersebut berpadu dalam diri mereka. (Dari Kitaab Ahlis Sunnah wa’ Tiqaadid Diin oleh ar-Razuuu. (Rinuklikan juga dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Lalika-i no.321 dan catatan kaki pada poin no.141 di Kitab Syarhus Sunnah oleh Imam al-Barbahari yang ditahqiq oleh Khalid bin Qasim ar-Radady, hal.116, cet II Daarus Salaf, th.1418 H).

3. Dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hambal ra, “disebutkan ahhaabul hadiits dihadapan Ibnu Qutailah di Makkah, lalu dia berkata : “Ashhabul hadiits (Ahlus Sunnah) adalah kaum yang jahat!’ Maka Imam Ahmad bin Hambal berdiri dan menyincing bajunya sambil berkata “ ‘Zindiq, zindiq, zindiq, sampai beliau masuk rumah.” (dalam kitab, Syarhus Sunnah oleh Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Khalaf al-Barbahari. (Lihat pula ‘Aqidatus Salaf Ashhaabil Hadiits oleh Syaikhul Islam Abu Utsman as-Shabuni, Tahqiq Badr bin Abdullah al-Badr, no.164, hal.177.



Allah Ta’ala memelihara Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah dari segala aib yang dinisbatkan kepada mereka. Mereka tidak mempunyai sebutan lain kecuali Ahlus Sunnah yang mulia, jalan yang diridhai, halan yang lurus dan hujjah yang kuat. Allah telah memberikan taufiq kepada mereka untuk mengikuti Kitab-Nya, mencontoh Sunnah Nabi-Nya saw, membuka dada mereka untuk mencintai beliau, mencintai pria Imam dalam agama dan para ulama yang mengamalkan ilmunya. Barangsiapa mencitai suatu kaum maka dia tergolong dari mereka. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw., “Seseorang bersama orang yang dicintainya.” (HR. Al-Bukhari) (HR. Al-Bukhari no.6168, 6169 dan Muslim no.2640 dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud).

Barangsiapa mencintai Rasulullah saw, Sahabatnya ra, Tabi’in, Tabiut Tabi’in dari kalangan ulama yang mendapat petunjuk, ulama syari’ah Ahlul Hadits dan Ahlul Atsar dari tiga generasi pertama dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari ini, maka ketahuilah bahwa dialah Shahibus Sunnah (orang yang berpegang teguh kepada sunnah).

Hukum shalat di belakang Ahlul Bid’ah : Ketahuilah bahwa intisari dari pendapat ulama Ahlus Sunnah dalam permasalahan ini adalah sebagai berikut.

Bahwa shalat tidak boleh dibelakang orang kafir tulen dan murtad.
Meninggalkan shalat di belakang orang yang mastur (orang yang tidak diketahui) keadaannya dan orang yang tidak diketahui aqidahnya adalah bid’ah, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengatakan hal itu.
Pada asalnya dilarang shalat di belakang ahlu bid’ah sebagai celaan atas bid’ahnya dan agar orang lain menjauhinya. Namun jika terjadi shalat tersebut (shalat di belakang ahlu bid’ah) maka tetap sah shalatnya.
Hukum meninggalkan shalat mayyit dan mengucapkan rahimahullahu kepada ahlu bid’ah.

· Sesungguhnya orang yang mati dalam keadaan kafir dari asalnya atau murtad dari agamanya atau dikafirkan karena bid’ahnya dan sudah sampai hujjah kepadanya secara langsung, maka tidak boleh menshalatinya maupun mengucapkan rahimahullah kepadanya, dan ini merupakan ijma’ para ulama.

· Barang siapa meninggal dunia karena bermaksiat atau bercampur dengan bid’ah yang tidak mengeluarkannya dari agama, maka disyari’atkan bagi imam dan orang yang menjadi panutan dari kalangan ahli ilmu untuk tidak menshalatinya sebagai tindakan pencegahan dan peringatan bagi manusia dari perbuatan maksiat dan bid’ahnya. Bukan berarti hal itu diharamkan kepada semua orang, namun hukum menshalati dan mendo’akannya adalah fardhu kifayah; selama dia tidak mati secara kafir dan tidak menjadi orang yang diputuskan sebagai penghuni neraka selama-lamanya.

Beberapa nasehat penting dari para imam salaf dalam memperingatkan Ahlul Bid’ah.

· Amirul Mukmini ‘Umar bin Khaththab ra berkata :

“Akan datang sekelompok manusia yang akan membantah kamu dengan syubhat al-Qur’an, maka bantahlah mereka dengan sunnah. Karena orang-orang yang (berpegang teguh) pada as-Sunnah lebih mengerti tentang Kitabullah. ((1-4) Disebutkan oleh Imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibanah.) (Riwayat ad-Darimi (I/49), asy-Syariah oleh Imam al-Ajurri no.93, 102, al-Ibanah li Ibni Baththah al-Ukbari (I/250-251 no.83-84), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/139 no.202).)

· Dari Abdullah bin Umar bahwa beliau berkata kepada orang yang mengingkari qadar :

“Jika kamu bertemu dengan mereka, maka katakan kepada mereka bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas dari diri darinya; (beliau mengatakan tiga kali)” (Disebutkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.1038.)

· Abdullah bin ‘Abbas ra berkata :

“Janganlah kamu bergaul dengan orang-orang Ahlul ahwa’; karena bergaul dengan mereka dapat menjadikan hati sakit” (Disebutkan oleh Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibaanah no.371.

· Orang yang alim lagi zuhud yaitu al-Fudhail bin ‘Iyadh ra berkata :

“Janganlah kamu merasa aman dari ahlul bid’ah atas agamamu. Jangan kamu ajak musyawarah dia dalam urusanmu, jangan duduk dengannya ! Barangsiapa yang duduk dengan ahlul bid’ah, maka Allah akan mewariskan kepadanya kebutaan (yaitu pada hatinya).” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya no(VII/103), Ibnu Baththah al-Ukhbari dalam al-Ibanah no. No. 437 dan dikeluarkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.264.)

· Imam al-Hasan al-Basri ar berkata :

“Allah Ta’ala enggan memberikan izin untuk bertaubat bagi orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya.” (Disebutkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushu“Allah Ta’ala enggan memberikan izin untuk bertaubat bagi orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya.” (Disebutkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.285).

· Imam ‘Abdullah bin al Mubarak ra berkata :

“Ya Allah, janganlah Engakau jadikan Ahlul bid’ah itu (mempunyai) kekuatan/ kekuatan disisiku, sehingga hatiku akan mencintainya!” (Disebutkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.255.)

· Amirul Muknini dalam hadits Sufyan ats-Tsauri ra berkata :

“Barangsiapa mendengarkan (perkataan) ahlul bid’ah sedangkan dia mengetahui bahwa ia ahlul bid’ah, maka ishmahnya (keterpeliharaanya dari kesalahan) pasti dicabut dan disandarkan kepada dirinya sendiri.”

· Imam al-Auza’i ra berkata :

“Janganlah kamu beri kesempatan ahlul bid’ah untuk berdebat, karena ia akan menjadikan hatimu penuh keraguan disebabkan fitnahnya.”

· Muhammad Ibnu Sirin ra berkata dengan memberikan peringatan (agar menjauhi) bid’ah.

“Tiada seorangpun yang mengada-adakan suatu bid’ah, lalu ia merujuk kepada sunnah.” (Disebutkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahihnya dan ad-Darimi (I/80 no.208), Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah as-Shughra hal.131 dan as-Suyuti dalam al-Amr bil Ibtida’ hal. 78.)

· Imam Malik bin Anas ra berkata : “Ahlus bid’ah jangan dinikahkan (dengan Ahlus Sunnah) dan juga (Ahlus Sunnah) jangan dinikahkan dengan ahlul bid’ah serta jangan diberi salam!” (Al-Mudawwanatul Kubra karya Imam Malik)

· Imam Asy-Syafi’i ra bahwa beliau melihat ahlul kalam berucap dalam suatu bid’ah lalu beliau berteriak dan seraya berkata :

“Kalian boleh berteman dengan kami baik-baik atau kalau tidak, menjauhkanlah dari dari kami!” (Mukhtasar Kitaab al-Hujjah ‘Ala Taarikil Mahajjah, karya Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi. (Dikeluarkan juga oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaud Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.304 dan Ibnu Baththah al-Ukbari dalam al-Ibanah no.660).

· Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal ra berkata :

“Sesungguhnya ahlul bid’ah dan ahlul ahwa tidak boleh dimintai pertolongan dalam sesuatu dari urusan kaum Muslimin; karena yang demikian itu madharatnya pada agama lebih besar.” (Manaaqib Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi dan dikeluarkan juga oleh Ibnu Abi Ya’la dalam Thabaqaat al-Hanaabilah (I/342). Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ oleh Dr. Ibrahiim ‘Amir ar-Ruhaili (I/186), cet. Maktabah al-Uluum wal Hikam, th.1422 H.)

· Beliau berkata : “Hindarilah semua bid’ah, dan janganlah kamu bermusyawarah dalam urusan agamamu dengan orang ahlul bid’ah.

· Imam Abdur Rahman bin Mahdi ra berkata : “Sesungguhnya tudaj ada ahlus ahwa’ yang lebih jahat daripada orang yang berfaham jahmiyah; mereka menginginkan untuk mengatakan “Dilangit tidak ada apa-apa” Demi Allah, aku berpendapat agar mereka tidak dikawinkan (dengan ahlus sunnah) dan tidak mewariskan.”

· Imam Abu Qilabah al-Bashri ra berkata :

“Janganlah berteman dengan ahlul ahwa, karena jika kamu tidak masuk ke dalam apa yang mereka masuki; (minimal) mereka akan mengaburkan apa yang kamu ketahui”

· Ayub as-Sakhtiyani ra berkata : “Sesungguhnya ahlul ahwa’ adalah para penganut kesesatan; dan aku melihat tempat kembali mereka kecuali neraka.”

· Abu Yusuf al_Qadhi ra berkata :

“Aku tidak shalat dibelakang seorang jahmi, Rafidhi (Syi’ah) maupun Qadari.”

· Syaikhul Islam Abu Utsman Ismail as-Shabuni ra berkata : “Tanda-tanda Ahlul bid’ah nampak jelas pada orang-orang. Tanda yang paling menonjol adalah mereka sangat memusuhi orang-orang yang membawa hadits-hadits Nabi saw, mengejek mereka; bahkan menamakan mereka, Hasyawiyyah, Jahalah (orang-orang bodoh) . Zhahiriyah, dan Musyabbihah. Ahlul bid’ah berkeyakinan bahwa hadits-hadits Nabi saw adalah jauh dari ilmu. Bahkan yang dianggap ilmu itu adalah apa-apa yang disampaikan syaitan ke dalam diri mereka (yang merupakan) hasil pikirannya yang rusak dan bisikan-bisikan hatinya yang gelap.

· Imam asy-Syafi’i ra telah menjelaskan tentang ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ dalam ungkapannya :

“Hukum untuk ahli Kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan niaikkan ke unta, lalu diring keliling kampung. Dan dikatakan : ‘inilah balasan orang yang meninggal al-Kitab dan as-Sunnah serta mengambil ilmu Kalam.”

· Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin al-Fara al Baghawi ra berkata : “Para sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan ulama Ahlus Sunnah sungguh memusuhi ahlul bid’ah dan meninggalkan mereka.”

· Imam Abu Utsman Ismail as-Shabuni ra telah menukil dalam kitabnya yang berharga : ‘Aqiidatus Salaf Ashaabil Hadits” bahwa Ahlus Sunnah telah sepakat atas wajibnya menekan ahlul bid’ah dan merendahkan mereka, seraya beliau berkata setelah menyebutkan ucapan mereka: “Inilah beberapa pertanyaan yang telah ditetapkan dalam masalah ini; bahwa i’tiqad Ahlus Sunnah secara menyeluruh dan tidak ada persengketaan antara satu dengan yang lain bahkan merupakan ijma’ serta kesepakatan bahwa Ahlul bid’ah harus ditekan, dihinakan, direndahkan, dijauhkan, dideportasi, dijauhkan dari berteman dan berinteraksi dengan mereka; bahkan (hendaknya kita) taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan mengesampingkan dan meninggalkan mereka”.



Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 205 – 219.



Read More ..

Prinsip Kesebelas :Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Bersikap dan Berakhlak

Filed under: by:

Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari

Termasuk dari prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Bahwa mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar (amar ma’ruf wa nahi munkar). (Ada beberapa syarat dalam merubah kemunkaran, di antaranya:

1. Orang yang melarang dari perbuatan kemungkaran harus mengetahui terhadap apa yang dicegahnya. 2. Agar meneliti lebih lanjut (agar pasti) bahwa perbuatan ma’ruf telah ditinggalkan sedang kemungkaran dipraktekkan. 3. Tidak merubah kemungkaran dengan kemungkaran lain. 4. Hendaknya jangan menyebabkan berubahnya kemungkaran yang kecil kepada kemungkaran yang lebih besar).Mereka percaya bahwa kebaikan ummat ini akan senantiasa tetap ada dengan ciri khas ini (amar ma’ruf dan nahi munkar), bahkan ciri khas ini merupakan syi’ar Islam yang paling agung dan merupakan sebab terpeliharannya kesatuan dalam Islam. Amar ma’ruf adalah kewajiban sesuai dengan kondisi, dan kemaslahatan dipertimbangkan dalam hal itu. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepad ayang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah ....”(Ali Imran:110)
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika ia tidak mampu pula maka dengan hatinya; yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendahulukan dakwah dengan cara yang lembut, baik berupa perintah maupun larangan, dan menyeru dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Allah Ta’ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan rabb mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ...” (An-Nahl : 125).

Mereka memandang wajibnya bersabar bersabar atas semua gangguan manusia dalam amar ma’ruf nahi munkar, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “....... Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungghnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman : 17).

Ahlus Sunnah, ketika menjalankan amar ma’ruf nahi dan nahi munkar merekapun konsisten dengan prinsip lain yaitu menjaga kesatuan jama’ah, menarik dan mempersatukan hati serta menjauhkan perselisihan dan perbedaan.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah : Memandang perlunya nasehat-nasehati bagi setiap muslim dan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Nabi saw bersabda, “Agama itu adalah itu nasehat “Kami (para sahabat) bertanya : Untuk siapakah nasehat tersebut ? Beliau menjawab “ Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin dan ummat manusia” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.55, Abu Dawud no.4944, an-Nasa-i no.4199, 4200, dan Ahmad (IV/102-103) dari Sahabat Abu Ruqiyah Tamim bin ‘Aus ad-Daari Ditakhrij secara lengkap oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghalil no.26.

Ahlus sunnah wal Jama’ah senantiasa menjaga untuk tetap menegakkan syiar-syiar Islam seperti mendirikan shalat Juma’at, shalat jama’ah, haji, jihad dan merayakan hari lebaran (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama para pemimpin yang baik maupun yang jahat, berbeda dengan ahlul bid’ah.

Mereka bergegas dalam mendirikan shalat yang fardhu dan pelaksanaanya tepat diawal waktunya dengan berjama’ah. Awal waktu shalat tentu lebih baik daripada akhirnya kecuali shalat ‘Isya’. Dan menyuruh agar khusyu’ dan thuma’ninah dalam shalat; berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Al-Mukminuun : 1-2).

Mereka saling menasehati untuk mendirikan shalat malam, karena ini dari petunjuk Nabi saw dan bahkan Allah Ta’ala menyuruh Nabi-Nya saw agar mendirikan shalat malam dan bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada-Nya.

Dari ‘Aisyah ra bahwa Nabi saw shalat malam sampai kedua telapak kaki beliau pecah-pecah, lalu ‘Aisyah bertanya : “Kenapa engkau lakukan ini wahai Rasulullah, sedang Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” beliau menjawab, “Tidak bolehkan aku ingin menjadi seorang hamba yang bersyukur (kepada Allah)?” (HR. Al-Bukhari) (HR. Al-Bukhari no.4837 dan Muslim no.2820 dair ‘Aisyah..

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tabah terhadap musibah, yaitu dengan bersabar ketika (mendapatkan) malapetaka, bersyukur ketika (mendapatkan) kenikmatan dan rela dengan pahitnya takdir. Allah Ta’ala berfirman, “... Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.”(Az Zumar:10)

Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala itu (tergantung) dengan besarnya musibah. Sesuhngguhnya jika Allah mencintai suatu kaum pasti menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka (Allahpun) ridha kepadanya. Dan barangsiapa murka, maka (allahpun) murka kepadanya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi oleh Imam al-Albani) (HR. at Tirmidzi no.2396, Ibnu Majah no.4031 dari sahabat Anas bin Malik. Imam At.Tirmidzi berkata : “Hadits hasan gharib” Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih sunan at-Tirmidzi (II/286) dan Silsilatull Ahaadiitsish Shahiihah, Jilid I bagian I hal.276, no.146.

Ahlus Sunnah tidak mengharap dan tidak meminta musibah kepada Allah, karena mereka tidak tahu : Apakah mereka bisa tabah atau tidak? Akan tetapi jika mereka diuji, maka mereka bersabar. Nabi saw bersabda, “Jangalah kamu berharap untuk bertemu dengan musuh, tetapi memohonlah keselamatan kepada Allah! Jika kamu berhadapan dengan mereka, maka bersahabatlah!” (muttafaq’alaih)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mendapatkan bencana, karena Allah Ta’ala telah mengahramkan hal itu. Tetapi mereka berharap solusi yang segera datang dan pertolongan (Allah) yang pasti disaat turun bala’; karena mereka percaya dengan janji-Nya dan mengetahui bahwa setelah kesulitan pasti akan datang kemudahan. Mereka mencari sebab terjadi malapetaka tersebut pada dirinya sendiri, bahkan mereka berpandangan bahwa melapetaka dan musibah itu tidak akan menimpanya kecuali karena ulah tangannya sendiri. Mereka mengetahui bahwa pertolongan terkadang terlambat datangnya disebabkan perbuatan maksiat dan kelalaian dalam beri’ttiba’. Berdasarkan firman Allah, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …...” (Asy-Syura:30).

Dalam (menghadapi) cobaan dan pembelaan terhadap agama mereka tidak menggantungkan kepada sebab-sebab alami, tipu daya yang bersifat duniawi dan sunnah-sunnah kauniyyah, sebagaimana pula mereka tidak mengabaikan hal itu, sebelum itu mereka berpandang bahwa bertakwa kepada Allah Ta’ala dan istighfar dari dosa dan noda, bergantung kepada Allah dan bersyukur dikala gembira merupakan sebab yang penting dalam mempercepat tibanya kemudahan setelah kesusahan.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah takut dan cemas terhadap adzab karena kufur nikmat, oleh karena itu mereka termasuk manusia yang paling suka bersyukur dan memuji kepada Allah serta terus menerus bersyukur kepada setiap nikmat yang kecil maupun yang besar. Nabi saw bersabda, “Lihatlah kepada orang yang berada dibawahmu dan janganlah melihat kepada orang yang berada diatasmu; karena sesungguhnya hal itu lebih layak agar kamu tidak memandang rendah nikmat Allah atasmu.” (shahih Sunan at Tirmidzi, oleh al-Imam al Albani) (HR. Al-Bukhari no.490, Muslim no.2963 (9), at-Tirmidzi no.2513, dan Ibnu Majah no.4142 dari Sahabat Abu Hurairah.)

Ahlus Sunnah menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan perbuatan yang baik. Nabi saw bersabda, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al-Albani) (HR. at-Tirmidzi no.1162, Ahmad (II/250, 472), Abu Dawud no.4682 dan Al-Hakim (I/3), dari Sahabat Abu Hirairah. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah no.284).







Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling kucintai dan paling dekat tempat duduknya dariku di antara kalian pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al Albani) (HR. At Tirmidzi (no.2018), ia berkata : Hadits hasan”. Dari sahabat Jabir ra Hadits ini ada beberapa syawahid, lihat Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah no.791.)

Sabdanya, “Tidak ada sesuatu yang diletakan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya orang yang berakhlak mulia pasti akan sampai pada drajat orang yang selalu puasa dan shalat.” (Shahih Sunan at Tirmidzi, oleh Imam al-Albani) (HR. at Tirmidzi no.2003 dari Sahabat Abu Darda’. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ish Shaghiir no.5726.

Beberapa Akhlak Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

· Ikhlas dalam berilmu dan beramal serta takut riya’. Allah Ta’ala berfirman :

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar:3)

· Mengagungkan hal-hal yang dilarang oleh Allah Ta’ala, ghirah (cemburu) jika larangan-larangan-Nya dilanggar, membela agama dan syariat-Nya dan banyak memuliakan hak-hak kaum Muslimin serta senang kebaikan untuk mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al Hajj:32)

· Berupaya meninggalkan nifaq, dimana penampilan lahir dan bathinnya sama dalam melakukan kebaikan, menganggap sedikit amalan yang mereka perbuat dan selalu mendahulukan amal akhirat daripada amal dunia.

· Lunak hatinya, banyak menangis atas yang mereka lalaikan dalam hak-hak Allah Ta’ala (dengan demikian) mudah-mudahan Allah memberikan rahmat-Nya kepadanya. Banyak mengambil pelajaran dan memperhatikan dengan urusan kematian. Mereka menangis jika melihat jenazah atau mengingat mati dan sakaratul maut serta su’ul khatimah (akhir hayat yang jelak) sehingga meruntuhkah hati mereka)

· Bertambah tawadhu’ setiap meningkat derajat kedetakannya kepada Allah Ta’ala.

· Banyak beraubat, istighfar siang malam karen apersaksian mereka bahwa mereka tidak dapat selamat dari dosa dan noda walaupun dalam ketaatannya. Lalu mereka memohon ampunan dari kekurangannya, senantiasa merasa diawasi Allah dalam (segala hal) dan tidak ujub dalam amal perbuatannya serta benci akan ketenaran bahkan mereka selalu mlihat kunga dan lalai dalam ketaatan (keapda-Nya), apalagi kejelakannya.

· Melaksanakan takwa kepada Allah dengan sangat cermat, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang bertakwa. Mereka banyak takut kepada Allah Ta’ala.

· Sangat takut dari su’ul khatimah, tidak lalai berdzikir kepada Allah Ta’ala. Dunia dimata mereka sesuatu hal yang rendah dan sangat menolaknya. Tidak banyak menaruh perhatian terhadap pembangunan rumah kecuali jika diperlakukan tanpa dihiasi (yang berlebihan).

Nabi saw bersabda, “Demi Allah, tidaklah (kehidupan) dunia dibandingkan dengan (kehidupamn) akhirat melainkan seperti seseorang diantara kamu masukkan jarinya dalam laut; maka perhatikanlah apa yang dibawah kembali jari tersebut” (HR. Muslim). (HR. Muslim no.2858, at Tirmidzi no.2323 dan Ibnu Majah no. 4108 dari al-Mastaurid

· Tidak ridha jika kesalahan terjadi pada agama maupun orang yang memeluknya, bahkan membantahnya dan mencari alasan bagi orang yang mengatakannya, jika orang tersebut bisa diterima alasannya. Banyak menutupi (aib) saudaranya sesama muslim, sering mengintrospeksi dirinya dalam hal wara’. Tidak senang menampakkan aib seseorang, menyibukkan diri dengan aibnya sendiri daripada aib orang lain, bersungguh-sungguh menutupi aib orang lain dan memegang rahasia. Tidak menyampaikan apa yang didengar tentang kehormatan seseorang, meninggalkan permusuhan terhadap orang. Banyak bersikap lembut dan tidak menghadapi seseorang dengan perilaku yang jelek. Jadi mereka tidak memusuhi seseorang pun. Nabi saw bersabda, “Tidak akan masuk surga tukang fitnah” (HR. Bukhari) (HR. Al-Bukhari no.105 (169, 170), at Tirmidzi no.2026, Abu Dawud no.4871 dan Ahmad (V/382, 389, 392), dari Sahabat Hudzaifah. “Tidak akan masuk surga tukang adu domba.” (HR. Muslim no.105 (168) dan Ahmad (V/391, 396, 398, 406), dari Sahabat Hudzaifah.

· Menutup pintu ghibah (penggunjingan) dalam majelisnya dan mereka menjaga lidahnya dari hal tersebut; agar majelisnya tidak menjadi majelis dosa. Allah Ta’ala berfirman, “…Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya ….” (Al-Hujuraat :12).

· Sangat pemalu, berbudi pekerti, berkasih sayang, tenang, berwibawa, sedikit bicara, sedikit tertawa, banyak diam, berbicara dengan hikmah untuk mempermudah orang yang mencari (informasi dan lain-lain), tidak riang dengan suatu urusan duniawi. Yang demikian itu karena kesempurnaan akal mereka. Nabi saw bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (Muttafaq’alaih) (Hr. Al-Bukhari no.6475, Muslim no.47 (74), at-Tirmidzi no.2500 dan Abu Dawud no.5154 dari Sahabat Abu Hurairah.)

Dan beliau juga bersabda, “Siapa yang (banyak) diam pasti selamat” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no.2500 dan Abu Dawud no.5154 dari Sahabat Abu Hurairah).

· Pemaaf kepada setiap orang yang mengganggunya baik dengan memukul, mengambil hartanya maupun melecehkan kehormatannya atau yang semisalnya. Allah Ta’ala berfirman, “… Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran:134).

· Tidak lalai dalam memerangi iblis, bersungguh-sungguh untuk mengetahui tipu daya mereka. Tidak was-was saat wudhu’ shalat dan ibadah lainnya; karena semuanya itu (datangnya) dari syaitan.

· Banyak shadaqah siang-malam dari segala sesuatu yang lebih dari yang keperluan mereka, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Banyak menanyakan tentang keadaan teman-temannya. Yang demikian itu dengan tujuan untuk membantunya dari apa yang mereka perlakukan baik makanan, pakaian, harta, dan tidak berlebihan dalam hal yang halal bila mereka mendapatkannya.

· Mencela kekikiran, banyak bermurah hati dan dermanwan, mengeluarkan sebagian hartanya, membantu saudaranya di saat berpergian maupun tidak. Karena dengan demikian akan terjadi (satu sama lain) saling bahu menbahu dalam membela agama, di mana hal itu merupakan maksud dan tujuan mereka. Mereka sangat senang berbuat kebaikan kepada saudaranya, saling menyenangkan orang lain dan mendahulukan saudarannya dalam hal itu daripada dirinya sendiri.

· Menghormati tamu dan melayaninya dengan dilakukan sendiri kecuali kalau ada halangan. Kemudian mereka tidak berpandangan bahwa mereka telah membalas budi dan menjamunya dengan tinggal di rumahnya serta berhusnu dzhan (berbaik sangka) kepada tamu tersebut. Memenuhi undangan saudarannya kecuali kalau makanannya haram atau jika mengkhususkan undangan hanya untuk orang kaya tanpa mengundang orang miskin atau bila ditempat walimah ada suatu maksiat.

· Sopan santun terhadap anak kecil, apalagi kepada orang dewasa, juga terhadap orang yang jauh (hubungan kerabatnya) apalagi kepada orang yang dekat, serta terhadap orang yang jahil apalagi kepada orang yang alim.

· Mendamaikan perselisihan karena hal itu termasuk sebaik-baik pintu kebaikan bahkan puncaknya, dan dikarenakan pula : mendamaikan orang yang berselisih itu akan merusak strategi dan rencana syaitan yang tujuannya menciptakan permusuhan, kebencian di kalangan kaum Muslimin dan merusak hubungan diantara mereka.

· Melarang dengki, iri hati, karena hal itu akan menimbulkan permusuhan, kebencian, kelemahan iman dan cinta dunia dan seisinya tanpa ada tujuan yang syar’’i.

· Menyuruh berbakti dan berlaku baik kepada kedua orang tua.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya…” (Al-Ankabuut:8)

· Memerintahkan agar berbuat baik kepada tetangga, belas kasihan sesama hamba Allah menghubungkan tali persaudaraan, menyebarkan salam, belas kasihan terhadap fakir miskin, anak yatim dan orang yang sedang bepergian.

· Melarang sikap sombong, congkak, ujub, lalim, dan sombong terhadap orang lain tanpa alasan yang benar dan menyuruh selalu bersikap adil dalam segala sesuatu.

· Tidak menyepelekan suatu kebaikan yang syari’at kita telah mengajurkan untuk melakukannya. Nabi saw bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun hanya dengan wajah yang berseri-seri ketika kamu bertemu suaramu.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2626 (114) dan at-Tirmidzi no. 1833 dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifari.

· Melarang su’uzdan (buruk sangka), memata-matai dan mencari-cari kekurangan (aib) kaum Muslimin karena yang demikian itu akan merusak hubungan kemasyarakatan, memecah belah diantar asaudara, menimbulkan kerusakan dan mereka tidak marah untuk dirinya sendiri karena mereka memahami fiqih marah.

Allah Ta’ala berfirman, “… dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memafkan kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” ( Ali Imran:134)

dan lain-lainnya dari akhlak Nabi saw. (Dakwah kepada manhaj Salafush Shalih bertujuan untuk membangun generasi yang sesuai dengan generasi pertama, dimana mereka didik oleh tangan Rasulullah saw. Allah Ta’ala telah memuji Rasul-Nya dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”(Al-Qalam:4)

maksudnya bukanlah hanya sekedar sesuai dalam masalah ‘aqidah saja walaupun tentunya aqidah merupakan pokok yang pertama dan paling penting, akan tetapi maksudnya agar kita sesuai dengan Salafush Shalih dalam segala urusan agama kita yang agung ini. Karena manhaj salaf itulah yang kita seru manusia kepadanya. Bukan hanya sekedar pengetahuan dalam pikiran saja; akan tetapi hendaknya manhaj mereka mencakup (urusan) aqidah, konsep, sikap dan akhlak. Sangat disayangkan, kami dapatkan di zaman serba moderen ini bahwa urusan yang penting dari manhaj salaf tidak mendapatkan perhatian, dan tarbiyyah. Sedang Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Al –Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no.273 (shahih al Adabul Mufrad no.207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah ra. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsih Shahihah no.45)

Maka salaf telah mencontoh Rasulullah saw, berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah dan menjalankan perintahnya. Keadaan mereka seperti yang difirmankan Allah, “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia …” (Ali Imran:110).

Jika kita menghendaki keselamatan (dunia dan akhirat) maka kita hars (mengamalkan) seperti yang (diamalkan) Salafush Shalih ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 219 – 234.



Read More ..

Prinsip Kesebelas :Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Bersikap dan Berakhlak

Filed under: by:

Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari

Termasuk dari prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Bahwa mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar (amar ma’ruf wa nahi munkar). (Ada beberapa syarat dalam merubah kemunkaran, di antaranya:

1. Orang yang melarang dari perbuatan kemungkaran harus mengetahui terhadap apa yang dicegahnya. 2. Agar meneliti lebih lanjut (agar pasti) bahwa perbuatan ma’ruf telah ditinggalkan sedang kemungkaran dipraktekkan. 3. Tidak merubah kemungkaran dengan kemungkaran lain. 4. Hendaknya jangan menyebabkan berubahnya kemungkaran yang kecil kepada kemungkaran yang lebih besar).Mereka percaya bahwa kebaikan ummat ini akan senantiasa tetap ada dengan ciri khas ini (amar ma’ruf dan nahi munkar), bahkan ciri khas ini merupakan syi’ar Islam yang paling agung dan merupakan sebab terpeliharannya kesatuan dalam Islam. Amar ma’ruf adalah kewajiban sesuai dengan kondisi, dan kemaslahatan dipertimbangkan dalam hal itu. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepad ayang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah ....”(Ali Imran:110)
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika ia tidak mampu pula maka dengan hatinya; yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendahulukan dakwah dengan cara yang lembut, baik berupa perintah maupun larangan, dan menyeru dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Allah Ta’ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan rabb mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ...” (An-Nahl : 125).

Mereka memandang wajibnya bersabar bersabar atas semua gangguan manusia dalam amar ma’ruf nahi munkar, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “....... Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungghnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman : 17).

Ahlus Sunnah, ketika menjalankan amar ma’ruf nahi dan nahi munkar merekapun konsisten dengan prinsip lain yaitu menjaga kesatuan jama’ah, menarik dan mempersatukan hati serta menjauhkan perselisihan dan perbedaan.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah : Memandang perlunya nasehat-nasehati bagi setiap muslim dan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Nabi saw bersabda, “Agama itu adalah itu nasehat “Kami (para sahabat) bertanya : Untuk siapakah nasehat tersebut ? Beliau menjawab “ Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin dan ummat manusia” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.55, Abu Dawud no.4944, an-Nasa-i no.4199, 4200, dan Ahmad (IV/102-103) dari Sahabat Abu Ruqiyah Tamim bin ‘Aus ad-Daari Ditakhrij secara lengkap oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghalil no.26.

Ahlus sunnah wal Jama’ah senantiasa menjaga untuk tetap menegakkan syiar-syiar Islam seperti mendirikan shalat Juma’at, shalat jama’ah, haji, jihad dan merayakan hari lebaran (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama para pemimpin yang baik maupun yang jahat, berbeda dengan ahlul bid’ah.

Mereka bergegas dalam mendirikan shalat yang fardhu dan pelaksanaanya tepat diawal waktunya dengan berjama’ah. Awal waktu shalat tentu lebih baik daripada akhirnya kecuali shalat ‘Isya’. Dan menyuruh agar khusyu’ dan thuma’ninah dalam shalat; berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Al-Mukminuun : 1-2).

Mereka saling menasehati untuk mendirikan shalat malam, karena ini dari petunjuk Nabi saw dan bahkan Allah Ta’ala menyuruh Nabi-Nya saw agar mendirikan shalat malam dan bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada-Nya.

Dari ‘Aisyah ra bahwa Nabi saw shalat malam sampai kedua telapak kaki beliau pecah-pecah, lalu ‘Aisyah bertanya : “Kenapa engkau lakukan ini wahai Rasulullah, sedang Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” beliau menjawab, “Tidak bolehkan aku ingin menjadi seorang hamba yang bersyukur (kepada Allah)?” (HR. Al-Bukhari) (HR. Al-Bukhari no.4837 dan Muslim no.2820 dair ‘Aisyah..

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tabah terhadap musibah, yaitu dengan bersabar ketika (mendapatkan) malapetaka, bersyukur ketika (mendapatkan) kenikmatan dan rela dengan pahitnya takdir. Allah Ta’ala berfirman, “... Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.”(Az Zumar:10)

Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala itu (tergantung) dengan besarnya musibah. Sesuhngguhnya jika Allah mencintai suatu kaum pasti menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka (Allahpun) ridha kepadanya. Dan barangsiapa murka, maka (allahpun) murka kepadanya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi oleh Imam al-Albani) (HR. at Tirmidzi no.2396, Ibnu Majah no.4031 dari sahabat Anas bin Malik. Imam At.Tirmidzi berkata : “Hadits hasan gharib” Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih sunan at-Tirmidzi (II/286) dan Silsilatull Ahaadiitsish Shahiihah, Jilid I bagian I hal.276, no.146.

Ahlus Sunnah tidak mengharap dan tidak meminta musibah kepada Allah, karena mereka tidak tahu : Apakah mereka bisa tabah atau tidak? Akan tetapi jika mereka diuji, maka mereka bersabar. Nabi saw bersabda, “Jangalah kamu berharap untuk bertemu dengan musuh, tetapi memohonlah keselamatan kepada Allah! Jika kamu berhadapan dengan mereka, maka bersahabatlah!” (muttafaq’alaih)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mendapatkan bencana, karena Allah Ta’ala telah mengahramkan hal itu. Tetapi mereka berharap solusi yang segera datang dan pertolongan (Allah) yang pasti disaat turun bala’; karena mereka percaya dengan janji-Nya dan mengetahui bahwa setelah kesulitan pasti akan datang kemudahan. Mereka mencari sebab terjadi malapetaka tersebut pada dirinya sendiri, bahkan mereka berpandangan bahwa melapetaka dan musibah itu tidak akan menimpanya kecuali karena ulah tangannya sendiri. Mereka mengetahui bahwa pertolongan terkadang terlambat datangnya disebabkan perbuatan maksiat dan kelalaian dalam beri’ttiba’. Berdasarkan firman Allah, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …...” (Asy-Syura:30).

Dalam (menghadapi) cobaan dan pembelaan terhadap agama mereka tidak menggantungkan kepada sebab-sebab alami, tipu daya yang bersifat duniawi dan sunnah-sunnah kauniyyah, sebagaimana pula mereka tidak mengabaikan hal itu, sebelum itu mereka berpandang bahwa bertakwa kepada Allah Ta’ala dan istighfar dari dosa dan noda, bergantung kepada Allah dan bersyukur dikala gembira merupakan sebab yang penting dalam mempercepat tibanya kemudahan setelah kesusahan.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah takut dan cemas terhadap adzab karena kufur nikmat, oleh karena itu mereka termasuk manusia yang paling suka bersyukur dan memuji kepada Allah serta terus menerus bersyukur kepada setiap nikmat yang kecil maupun yang besar. Nabi saw bersabda, “Lihatlah kepada orang yang berada dibawahmu dan janganlah melihat kepada orang yang berada diatasmu; karena sesungguhnya hal itu lebih layak agar kamu tidak memandang rendah nikmat Allah atasmu.” (shahih Sunan at Tirmidzi, oleh al-Imam al Albani) (HR. Al-Bukhari no.490, Muslim no.2963 (9), at-Tirmidzi no.2513, dan Ibnu Majah no.4142 dari Sahabat Abu Hurairah.)

Ahlus Sunnah menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan perbuatan yang baik. Nabi saw bersabda, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al-Albani) (HR. at-Tirmidzi no.1162, Ahmad (II/250, 472), Abu Dawud no.4682 dan Al-Hakim (I/3), dari Sahabat Abu Hirairah. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah no.284).







Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling kucintai dan paling dekat tempat duduknya dariku di antara kalian pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al Albani) (HR. At Tirmidzi (no.2018), ia berkata : Hadits hasan”. Dari sahabat Jabir ra Hadits ini ada beberapa syawahid, lihat Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah no.791.)

Sabdanya, “Tidak ada sesuatu yang diletakan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya orang yang berakhlak mulia pasti akan sampai pada drajat orang yang selalu puasa dan shalat.” (Shahih Sunan at Tirmidzi, oleh Imam al-Albani) (HR. at Tirmidzi no.2003 dari Sahabat Abu Darda’. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ish Shaghiir no.5726.

Beberapa Akhlak Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

· Ikhlas dalam berilmu dan beramal serta takut riya’. Allah Ta’ala berfirman :

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar:3)

· Mengagungkan hal-hal yang dilarang oleh Allah Ta’ala, ghirah (cemburu) jika larangan-larangan-Nya dilanggar, membela agama dan syariat-Nya dan banyak memuliakan hak-hak kaum Muslimin serta senang kebaikan untuk mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al Hajj:32)

· Berupaya meninggalkan nifaq, dimana penampilan lahir dan bathinnya sama dalam melakukan kebaikan, menganggap sedikit amalan yang mereka perbuat dan selalu mendahulukan amal akhirat daripada amal dunia.

· Lunak hatinya, banyak menangis atas yang mereka lalaikan dalam hak-hak Allah Ta’ala (dengan demikian) mudah-mudahan Allah memberikan rahmat-Nya kepadanya. Banyak mengambil pelajaran dan memperhatikan dengan urusan kematian. Mereka menangis jika melihat jenazah atau mengingat mati dan sakaratul maut serta su’ul khatimah (akhir hayat yang jelak) sehingga meruntuhkah hati mereka)

· Bertambah tawadhu’ setiap meningkat derajat kedetakannya kepada Allah Ta’ala.

· Banyak beraubat, istighfar siang malam karen apersaksian mereka bahwa mereka tidak dapat selamat dari dosa dan noda walaupun dalam ketaatannya. Lalu mereka memohon ampunan dari kekurangannya, senantiasa merasa diawasi Allah dalam (segala hal) dan tidak ujub dalam amal perbuatannya serta benci akan ketenaran bahkan mereka selalu mlihat kunga dan lalai dalam ketaatan (keapda-Nya), apalagi kejelakannya.

· Melaksanakan takwa kepada Allah dengan sangat cermat, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang bertakwa. Mereka banyak takut kepada Allah Ta’ala.

· Sangat takut dari su’ul khatimah, tidak lalai berdzikir kepada Allah Ta’ala. Dunia dimata mereka sesuatu hal yang rendah dan sangat menolaknya. Tidak banyak menaruh perhatian terhadap pembangunan rumah kecuali jika diperlakukan tanpa dihiasi (yang berlebihan).

Nabi saw bersabda, “Demi Allah, tidaklah (kehidupan) dunia dibandingkan dengan (kehidupamn) akhirat melainkan seperti seseorang diantara kamu masukkan jarinya dalam laut; maka perhatikanlah apa yang dibawah kembali jari tersebut” (HR. Muslim). (HR. Muslim no.2858, at Tirmidzi no.2323 dan Ibnu Majah no. 4108 dari al-Mastaurid

· Tidak ridha jika kesalahan terjadi pada agama maupun orang yang memeluknya, bahkan membantahnya dan mencari alasan bagi orang yang mengatakannya, jika orang tersebut bisa diterima alasannya. Banyak menutupi (aib) saudaranya sesama muslim, sering mengintrospeksi dirinya dalam hal wara’. Tidak senang menampakkan aib seseorang, menyibukkan diri dengan aibnya sendiri daripada aib orang lain, bersungguh-sungguh menutupi aib orang lain dan memegang rahasia. Tidak menyampaikan apa yang didengar tentang kehormatan seseorang, meninggalkan permusuhan terhadap orang. Banyak bersikap lembut dan tidak menghadapi seseorang dengan perilaku yang jelek. Jadi mereka tidak memusuhi seseorang pun. Nabi saw bersabda, “Tidak akan masuk surga tukang fitnah” (HR. Bukhari) (HR. Al-Bukhari no.105 (169, 170), at Tirmidzi no.2026, Abu Dawud no.4871 dan Ahmad (V/382, 389, 392), dari Sahabat Hudzaifah. “Tidak akan masuk surga tukang adu domba.” (HR. Muslim no.105 (168) dan Ahmad (V/391, 396, 398, 406), dari Sahabat Hudzaifah.

· Menutup pintu ghibah (penggunjingan) dalam majelisnya dan mereka menjaga lidahnya dari hal tersebut; agar majelisnya tidak menjadi majelis dosa. Allah Ta’ala berfirman, “…Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya ….” (Al-Hujuraat :12).

· Sangat pemalu, berbudi pekerti, berkasih sayang, tenang, berwibawa, sedikit bicara, sedikit tertawa, banyak diam, berbicara dengan hikmah untuk mempermudah orang yang mencari (informasi dan lain-lain), tidak riang dengan suatu urusan duniawi. Yang demikian itu karena kesempurnaan akal mereka. Nabi saw bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (Muttafaq’alaih) (Hr. Al-Bukhari no.6475, Muslim no.47 (74), at-Tirmidzi no.2500 dan Abu Dawud no.5154 dari Sahabat Abu Hurairah.)

Dan beliau juga bersabda, “Siapa yang (banyak) diam pasti selamat” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no.2500 dan Abu Dawud no.5154 dari Sahabat Abu Hurairah).

· Pemaaf kepada setiap orang yang mengganggunya baik dengan memukul, mengambil hartanya maupun melecehkan kehormatannya atau yang semisalnya. Allah Ta’ala berfirman, “… Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran:134).

· Tidak lalai dalam memerangi iblis, bersungguh-sungguh untuk mengetahui tipu daya mereka. Tidak was-was saat wudhu’ shalat dan ibadah lainnya; karena semuanya itu (datangnya) dari syaitan.

· Banyak shadaqah siang-malam dari segala sesuatu yang lebih dari yang keperluan mereka, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Banyak menanyakan tentang keadaan teman-temannya. Yang demikian itu dengan tujuan untuk membantunya dari apa yang mereka perlakukan baik makanan, pakaian, harta, dan tidak berlebihan dalam hal yang halal bila mereka mendapatkannya.

· Mencela kekikiran, banyak bermurah hati dan dermanwan, mengeluarkan sebagian hartanya, membantu saudaranya di saat berpergian maupun tidak. Karena dengan demikian akan terjadi (satu sama lain) saling bahu menbahu dalam membela agama, di mana hal itu merupakan maksud dan tujuan mereka. Mereka sangat senang berbuat kebaikan kepada saudaranya, saling menyenangkan orang lain dan mendahulukan saudarannya dalam hal itu daripada dirinya sendiri.

· Menghormati tamu dan melayaninya dengan dilakukan sendiri kecuali kalau ada halangan. Kemudian mereka tidak berpandangan bahwa mereka telah membalas budi dan menjamunya dengan tinggal di rumahnya serta berhusnu dzhan (berbaik sangka) kepada tamu tersebut. Memenuhi undangan saudarannya kecuali kalau makanannya haram atau jika mengkhususkan undangan hanya untuk orang kaya tanpa mengundang orang miskin atau bila ditempat walimah ada suatu maksiat.

· Sopan santun terhadap anak kecil, apalagi kepada orang dewasa, juga terhadap orang yang jauh (hubungan kerabatnya) apalagi kepada orang yang dekat, serta terhadap orang yang jahil apalagi kepada orang yang alim.

· Mendamaikan perselisihan karena hal itu termasuk sebaik-baik pintu kebaikan bahkan puncaknya, dan dikarenakan pula : mendamaikan orang yang berselisih itu akan merusak strategi dan rencana syaitan yang tujuannya menciptakan permusuhan, kebencian di kalangan kaum Muslimin dan merusak hubungan diantara mereka.

· Melarang dengki, iri hati, karena hal itu akan menimbulkan permusuhan, kebencian, kelemahan iman dan cinta dunia dan seisinya tanpa ada tujuan yang syar’’i.

· Menyuruh berbakti dan berlaku baik kepada kedua orang tua.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya…” (Al-Ankabuut:8)

· Memerintahkan agar berbuat baik kepada tetangga, belas kasihan sesama hamba Allah menghubungkan tali persaudaraan, menyebarkan salam, belas kasihan terhadap fakir miskin, anak yatim dan orang yang sedang bepergian.

· Melarang sikap sombong, congkak, ujub, lalim, dan sombong terhadap orang lain tanpa alasan yang benar dan menyuruh selalu bersikap adil dalam segala sesuatu.

· Tidak menyepelekan suatu kebaikan yang syari’at kita telah mengajurkan untuk melakukannya. Nabi saw bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun hanya dengan wajah yang berseri-seri ketika kamu bertemu suaramu.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2626 (114) dan at-Tirmidzi no. 1833 dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifari.

· Melarang su’uzdan (buruk sangka), memata-matai dan mencari-cari kekurangan (aib) kaum Muslimin karena yang demikian itu akan merusak hubungan kemasyarakatan, memecah belah diantar asaudara, menimbulkan kerusakan dan mereka tidak marah untuk dirinya sendiri karena mereka memahami fiqih marah.

Allah Ta’ala berfirman, “… dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memafkan kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” ( Ali Imran:134)

dan lain-lainnya dari akhlak Nabi saw. (Dakwah kepada manhaj Salafush Shalih bertujuan untuk membangun generasi yang sesuai dengan generasi pertama, dimana mereka didik oleh tangan Rasulullah saw. Allah Ta’ala telah memuji Rasul-Nya dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”(Al-Qalam:4)

maksudnya bukanlah hanya sekedar sesuai dalam masalah ‘aqidah saja walaupun tentunya aqidah merupakan pokok yang pertama dan paling penting, akan tetapi maksudnya agar kita sesuai dengan Salafush Shalih dalam segala urusan agama kita yang agung ini. Karena manhaj salaf itulah yang kita seru manusia kepadanya. Bukan hanya sekedar pengetahuan dalam pikiran saja; akan tetapi hendaknya manhaj mereka mencakup (urusan) aqidah, konsep, sikap dan akhlak. Sangat disayangkan, kami dapatkan di zaman serba moderen ini bahwa urusan yang penting dari manhaj salaf tidak mendapatkan perhatian, dan tarbiyyah. Sedang Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Al –Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no.273 (shahih al Adabul Mufrad no.207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah ra. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsih Shahihah no.45)

Maka salaf telah mencontoh Rasulullah saw, berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah dan menjalankan perintahnya. Keadaan mereka seperti yang difirmankan Allah, “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia …” (Ali Imran:110).

Jika kita menghendaki keselamatan (dunia dan akhirat) maka kita hars (mengamalkan) seperti yang (diamalkan) Salafush Shalih ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 219 – 234.



Read More ..